Sebenarnya, kalau dilihat dari bentuknya, bala dan ujian sama bentuknya. Sama-sama tidak disukai adanya. Persis ibarat pinang dibelah dua, sulit untuk dibedakan. Apakah bencana atau kesusahan yang menimpa itu sebagai bentuk teguran, bala, atau sebuah ujian iman? Tergantung orang yang menyikapi dan menerimanya.
Secara rasio, tidak ada orang yang ingin hidupnya diliputi kesusahan dan penderitaan. Siapa sih yang ingin hidupnya selalu dilelet utang, sakit-sakitan, tidak naik kelas, dicemooh, di hina, disudutkan, dianaktirikan, dijahelin, kebakaran, kebanjiran, gempa dan lain sebagainya. Tentu semua orang ingin punya kehidupan yang bahagia, aman, tentram, dan sejahtera.
Penulis pernah membaca sebuah kitab kecil, "Durar al-Gawwash Ala Fatawa Sayyid 'Ali al-Khawwash," dimana dalam kitab tersebut Syekh Abdul Wahab Asy-Sya'rani menyebutkan, bahwa bala atau bencana yang menimpa seseorang bisa dikatakan sebagai bentuk siksaan, atau, teguran, ujian sekaligus penghapus dosa, atau ujian pengangkat derajat.
Bagaimana caranya? Dalam kitab yang sedang dibacakan satu kali dalam sepekan sekarang ini di majlis ta’lim Sabilal Anwar, Martapura, oleh KH. M. Syukri Unus Al-Banjari, pada kelas takhasus tersebut dijelaskan, bala bencana bisa dikatakan sebagai teguran atau bahkan sebagai siksaan, apabila ada indikasi berupa ketidaksabaran, banyak keluh kesah, serta mengadu-adu kepada makhluk disaat bencana tersebut menimpa.
Adapun apabila bala bencana itu diterima dengan penuh kesabaran, tidak mengadu-adu kepada makhluk, tidak keluh kesah, dan tidak ada bosannya dalam mengerjakan ibadah, dalam artian ibadah terus jalan seperti sedia kala, tidak ada perubahan penurunan ibadah kendati bencana menimpa. Maka itulah yang disebut dengan bala penghapus dosa.
Lantas bagaimana dengan karakteristik bala pengangkat derajat? Masih dalam fatwa Sayyid ‘Ali yang ditulis oleh Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani, disebutkan bahwa alamat atau karakterstik bala pengangkat derajat, berkualifikasi atau berstandar adanya sifat ar-ridah (kerelaan hati), thuma’ninah an-nafsi (ketentraman jiwa), dan as-sukun tahta al-aqdar (ketenangan di bawah kekuasaan dan taqdir Ilahi).
Artinya, orang yang menghadapi bala bencana dengan senyuman, tidak ada rasa jengkel pada Tuhan, tidak menyalahkan siapa-siapa, hatinya selalu tenang, bahkan ia beranggapan ini adalah kehendak Allah, Tuhanku, kekasihku, aku yakin ini adalah yang terbaik untukku. Itulah bala pengangkat derajat.
Kalau boleh diistilahkan, orang tersebut menganggap bala atau kesusahan apapun yang menimpa pada dirinya adalah merupakan “kado” berupa timun buruk namun di dalamnya terkandung emas murni 24 karat. Ia tidak melihat bala itu dari sisi kulitnya. Ia melihat dari sisi orang yang memberi, di samping berkeyakinan bahwa itu kado terbaik untuknya, karena ia tahu kado tersebut hadiah dari sang kekasih, yakni Allah Swt.
Nah, jadi kalo seseorang sudah tahu bala bencana itu dari kekasihnya, mengapa harus marah, mengapa tidak diterima dengan senang hati? Mengapa tidak diterima dengan senyuman? Seorang kekasih tentu tidak akan membuat sedih orang yang dikasihinya.
Kesimpulannya, bala bencana akan menjadi sebuah siksaan apabila disikapi dengan ketidaksabaran. Sebaliknya, bala akan menjadi sebuah penghapus dosa apabila diterima dengan kesabaran. Terakhir, bala akan menjadi sebuah pengangkat derajat apabila diterima dengan keridhaan. Karena dalam sifat ridha sudah pasti ada sifat sabar, sedangkan dalam sabar belum tentu mengandung sifat ridha. Oleh karena itulah, ulama Tasawuf menyebutkan sifat ridha adalah sifat tertinggi dari sifat-sifat bathin yang terpuji. Tidak heran disebutkan, “Martabat orang sufi tertinggi ada pada ridhanya kepada Allah Swt.”