Senin, 23 Juni 2014

Keluarga dan Kula

Mengetahui tentang sanak-kerabat (keluarga) atau dalam istilah bahasa Banjar disebut “Kula” bagi seseorang sangatlah penting untuk mengetahui siapa dirinya dan siapa handai tulannya. Agar nanti kalau suatu saat ada perlu; seperti mau mengadakan acara perkawinan, aqiqahan, selamatan, dan lain sebagainya mudah mengumpulkan semua keluarga.

Manusia di dunia ini tidak bisa hidup sendiri. Perlu ada orang-orang terdekat yang siap membantu kalau ada hajat dan kesusahan. Siap menghibur kalau ada kesedihan. Di sinilah fungsinya keluarga, sanak kerabat, handai tulan, atau kula. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sedihnya saat sakit keras namun tidak ada yang datang untuk membesuk. Lebih-lebih kalau ada kematian tapi tidak ada yang berbelasungkawa.

Harapan pertama seseorang tentu selalu tertuju pada sanak-kerabatnya, keluarga dan kula-kulanya. Dan besarnya harapan pada mereka tidak jarang selalu mengungguli harapan pada masyarakat. Tidak bisa dipungkiri peran keluarga dan kula sangatlah besar bagi seseorang dalam menjalani hidup di dunia ini. Demi menjaga lestarinya garis keturunan dan tali silaturrahmi antarkeluarga perlulah kesadaran masing-masing individu mencari tahu siapa orangtuanya, siapa paman-bibinya, siapa kakek-neneknya, siapa datu-datunya, dan siapa saja yang ada hubungan kekeluargaan dengan mereka.

Maka dari karena itu aku, begitu pula dengan saudara kembarku Muhammad Fitriansyah, kalau ada waktu luang, saat bersantai, saat rebahan bersama antara waktu azan magrib dan isya, sering bertanya pada ayah dan ibu tentang siapa saja saudara-saudara ayah dan ibu, nama kakek-nenek, dan anggota keluarga lain yang ada hubungannya dengan mereka berdua.

Menurut penuturan ayah, ia mempunyai lima saudara kandung dari hasil perkawinan pasangan suami istri yang bernama Anang Acil dan Galuh, kakek-nenek kami. Pertama, kakak dari ayah. Kata ayah, ia meninggal saat masih kecil, dan ayah pun tidak tahu siapa namanya. Saat saudaraku fitriansyah bertanya, ayah mengaku tidak pernah bertanya pada orang tuanya (kakek-nenek kami) saat masih hidup siapa nama kakak ayah yang meninggal tersebut.
Kedua, Supiah. Adik pertama ayah ini sewaktu hidup menikah dengan seorang laki-laki dari Barabai, paman Asan. Namun malang, keluarga mereka tidak bertahan lama, Supiah keburu meninggal sebelum mereka dikaruniai anak. Akhirnya, suaminya pun menikah kembali dengan seorang perempuan asal Negara, dan mereka menetap di Sungai Danau.

Ketiga, Haji Gazali. Adik kedua dari ayah ini biasa dipanggil Haji Jali, namun kami biasa memanggil beliau dengan sebutan “Angah Haji” karena beliau adalah anak ketiga, adik dari ayah kami sendiri.

Dalam masyarakat adat seperti di Batalas dan warga hulu sungai, sudah menjadi kebiasaan dalam memanggil saudara tertua ayah atau ibu dengan panggilan “Julak”,  sedangkan untuk saudara lebih muda dari julak di panggil “Gulu”, berikutnya, saudara yang lebih muda lagi dipanggil dengan “angah” dan terakhir untuk seterusnya yang paling muda dipanggil “acil atau amang”.

Panggilan, Julak, Gulu, angah, dan acil di atas tidak dibedakan apakah orang tersebut laki-laki atau perempuan. Hanya saja kalau mau membedakannya cukup ditambah “laki” atau bini,” tergantung jenis kelamin orang tersebut. Artinya disesuaikan dengan jenis kelamin orang yang dipanggil tersebut. Kalau orang yang dipanggil julak tersebut laki-laki maka ia di panggil Julak laki, kalau perempuan dipanggil julak bini. Begitu pula sama halnya dengan gulu, kalau orang yang dipanggil gulu tersebut laki-laki maka ia dipanggil gulu laki, dan kalau perempuan dipanggil gulu bini. Angah dan dan acil pun juga demikian. Ada angah laki ada angah bini. Ada acil laki ada acil bini. Namun belakangan untuk kata “Acil” oleh masyarakat dikhususkan bagi perempuan, sedangkan bagi laki-laki di panggil “amang”. Tidak ada lagi istilah acil laki dan acil bini.

Keempat dan kelima dari saudara ayah adalah Sahadi dan Sa’diyyah. Untuk dua orang terakhir ini, Sahadi dan Sa’diyyah, aku tidak bisa menjelaskan apa dan bagaimana ia, karena aku sendiri tidak pernah menemuinya. Mereka sudah lama tiada. Entah kapan mereka meninggal. Entah apakah aku sudah terlahir ke dunia sewaktu mereka masih hidup atau belum. Hanya Allah yang tahu. Namun demikian, menurut informasi yang di dapat, Sa’diyyah meninggal saat ia berumur sekitar kurang lebih setengah tahun.

Jadi dengan demikian, dari kelima saudara ayah tersebut hanya satu yang masih hidup, yakni angah haji.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjungannya.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India