Senin, 23 Juni 2014

Masa kecil yang unik


Masa kecilku penuh dengan berjuta kenangan, baik pahit atau pun senang. Itulah namanya hidup, yang namanya susah dan senang sudah pasti ada. Karena Hidup bagaikan roda yang sedang berputar. Kadang hari ini bahagia, besok sedih, dan hari ini sehat, besok sakit. Tidak ada orang yang hidup selalu bahagia dan sejahtera. Pasti ada warna-warninya. Pasti pernah merasakan sakit, sedih, dan derita. Begitu pula dengan diriku, si anak kampung yang sejak kecil sudah suka membaca buku ini.

Ya, waktu kecil aku senang banget membaca buku. Buku apa saja boleh. Yang pastinya buku yang membuat aku terhibur dan penasaran untuk tahu. Terutama komik. Si Pitrok dan si garing, Doraemon, dan Ninja Hattori. Hemmm itu mah komik-komik kesukaanku. Hampir setiap kali ke pasar uang yang dikasih mama untuk membeli makanan aku belikan ke buku. Biar saja tidak makan, biar saja tidak beli mainan asal beli buku.

Begitulah prisipku waktu itu. Makan di pasar masih belum kenyang kalau belum beli buku untuk dibaca. Beli mainan masih belum menghibur dan memuaskan kalau tidak disertai dengan buku. Kegemaranku yang beda dari teman-teman sebayaku waktu itu membuat mama prihatin terhadap diriku. Siapa yang tidak prihatin, masa kalau uang yang dikasih saat ke pasar untuk beli makanan agar lebih kenyang ternyata dibelikan ke buku? Ke pasar kok tidak makan? Ke pasar kok kelaparan? Apa tidak ada orang jual makanan di pasar? Hingga tidak jarang mama menegurku setiap kali aku datang dari pasar, “Jaka tukarakan ka makanan atau lainnya haja duitnya nintu ada jua kanyang parut, dari pada nukar buku nintu.” kata mama saat itu.

 Anak kembar, pasti sedikit banyak ada kesamaan baik dalam bentuk rupa atau tingkah laku. Dan ternyata kesukaanku membeli, membaca, dan mengoleksi buku itu juga dimiliki oleh saudara kembarku Muhahmmad Fitriansyah. Ia pun juga punya kegemaran beli buku. Aku masih ingat saat ia datang dari pasar, ia membawa buku. Ia membeli komik tentang para sahabat Rasul. Waduh seru abis deh komiknya. Hingga sekarang komik tersebut masih ada dalam salah satu lemari di rumah, di kampung halaman. 

Kegemaran membaca, membeli, dan mengoleksi buku tersebut terlahir tentunya setelah aku sudah bisa membaca donk pastinya. Ya iyalah masa orang ngak bisa membaca punya kegemaran membaca. Anih donk.! Heheee.

Begitulah aku. Padahal sebelumnya, sebelum aku bisa membaca, sebelum aku disekolahkan orang tuaku. Aku sangat ngotot tidak mau sekolah. Keras sekali. Susah diajak untuk sekolah. Pada tahun 1994-an sebelum mama papa pergi haji aku dan saudara kembarku disuruh sekolah. Saudara kembarku mau sekolah. Sedangkan aku menolak. Aku memilih tidak ingin sekolah. Hingga saat mama papa berada di tanah suci mekkah mama papa mengirimi kami surat dan sebuah jam tangan. Jam tangan itu serahkan kepada Ahmad agar ia mau sekolah. Begitu pesan mama papa dalam surat tersebut. Namun apa reaksiku? Aku masih tidak ingin sekolah kendati jam tangan tersebut sudah diserahkan kepadaku. Aku pakai jam tangan kiriman mama papa dari mekkah itu. Waduh, mau jadi apa aku waktu itu. Apa ingin jadi orang bodoh? Apa ingin jadi orang buta huruf? Dan apa...??? entahlah. Yang jelas waktu itu aku tidak ingin sekolah. Mungkin waktu itu aku merasa tidak mampu. Tidak berdaya. Aku gamang. Aku galau. Aku merasa tidak sanggup untuk sekolah. Padahal belum dicoba.

Beruntung hatiku sempat lunak dan mau disekolahkan oleh orang tuaku saat mereka sudah datang dari berhaji. Dan ternyata aku sempat menjadi bintang sekolah di sekolahku. Aku sempat mengharumkan nama baik sekolahku dengan menjadi juara I lomba melukis tingkat SD se-Kecamatan Candi Laras Utara.

Kegemaran membaca dan mengoleksi buku-buku yang tumbuh sejak kecil itu terus berlanjut. Hingga sekarang (2014) aku dan saudaraku berhasil membuat sebuah perpustakaaan pribadi. Sebuah perpustakaan kecil yang memiliki sekitar 600 judul buku dan 630 eksampler buku.  

Aku dan Saudara-Saudariku


Kakak pertamaku perempuan dan bernama Mariati. Ia menikah saat aku masih duduk di bangku kelas 4 SD dan sekarang (2014) sudah mempunyai satu orang anak perempuan bernama Helda, kelas II Tsanawiyah. Sedang kakak keduaku laki-laki dan bernama Nurifansyah. Ia sekarang tinggal bersama istri dan satu anak perempuannya yang bernama Nadia Rizqina di Margasari, ikut mertua.

Adapun saudaraku yang terakhir, itulah saudara kembarku, Muhammad Fitriansyah. Ia sekarang sekolah di Pondok Pesantren Tahfizul Qur'an Wa Ulumih Darussalam Martapura dan tinggal satu kost denganku di jalan Darussalam Gang Rahmat II Tanjung Rema, Martapura. Sedangkan aku? Alhamdulillah, hingga sekarang masih mengikuti Program Takhasus di Majelis Sabilal Anwar Al-Mubarak Martapura, yang diasuh oleh Syekh KH. M. Syukeri Unus Al-Banjari. Sekitar 11 tahun lebih aku dan Fitriansyah di Martapura, hidup bersama dan menuntut ilmu agama di kota ini.

Sebenarnya, selain kami berempat masih ada satu orang lagi anak yang terlahir dari perkawinan ayah dan ibu kami, yaitu anak pertama yang lahir dari rahim ibu kami. Dia kakak dari Mariati. Namun sayang, menurut cerita dari ayah, bayi mungil yang bernama Maspiansyah itu meninggal dalam usia hanya masih dalam hitungan bulan (sekitar 3 bulan) setelah dilahirkan. Dan konon, masih menurut cerita ayah, ia meninggal bukan karena sakit. Hari itu ia hanya mengis, menangis,dan menangis saja. Dan setelah beberapa saat ia pun meninggal.

Jadi dengan demikian aku mempunyai empat saudara dan anak ke empat dari lima bersaudara. Gimana ya wajah kakak pertamaku yang sebenarnya? Semoga nanti bisa ketemu dengannya di Surga, ya Allah. Amiin.!

Kampung Halamanku


Nama kampung halamanku ini kedengarannya memang cukup unik, desa “BATALAS”. Dan ini terbukti, saat salah satu temanku di Pondok Pesantren Darussalam Martapura mendengar nama Batalas ia sedikit ketawa. Mungkin karena agak lucu. Atauuu??? Ya sedikit anihlah, hingga temanku tersebut tersenyum-senyum sedikit karena menahan tawa.

Kenapa bernama Batalas? Apa dulu di desa ini banyak talas atau pisang talasnya? Mana aku tahu. Ya mungkin saja dulunya banyak talas atau pisang talasnya di sini sehingga diberi nama “Batalas”. Yang pastinya menurutku biasanya sebuah daerah pasti memiliki nilai historisnya, dan itu sudah barang tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada pemberian nama daerah tersebut.

Terlepas dari hal di atas, desa Batalas termasuk bagian dari desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Candi Laras Utara kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Di desa Batalas inilah kedua orang tuaku dan semua saudara-saudariku dilahirkan dan tinggal. Begitu pula halnya dengan kebanyakan sanak kerabatku lahir dan tinggal di desa yang terletak dipinggiran sungai Negara itu.

Waktu aku masih kecil, di desa Batalas belum ada lampu penerangan alias listrik. Semua penduduk mayoritas menggunakan lampu semprong, lampu duduk atau lampu colok, untuk digunakan sebagai penerangan di malam hari.

Selain itu, waktu aku masih kecil, jalan darat yang menghubungkan desa tersebut dengan daerah lainnya (Buas-buas, Rawana, Baulin, dan Margasari), selain dengan desa Telok Haur masih belum ada.  Jadi, semua warga yang berada di sana kalau mau kemana-mana harus menggunakan kapal bermotor atau kelotok. Karena alat transportasi paling banter di sana waktu itu hanyalah jukung, kelotok, kapal, dan alat transportasi air lainnya. Belum ada kendraan alias sepeda motor. Kalau sepeda tinjak sih ada, tapi bisanya hanya untuk pergi ke sekitar desa Batalas dan desa Telok Haur saja. Tidak bisa dibawa kemana-mana. 

Menurut perkiraanku, bisa memakan waktu setengah jam hingga berjam-jam baru akan bisa sampai ke kecamatan (Margasari) kalau pergi dari desa Batalas dengan menggunakan kelotok. Adapun kalau menumpang kapal-kapal taksi, waktu yang diperlukan cukup bervariasi. Ada yang lebih cepat dari kelotok dan ada juga sebaliknya. Namun sangat disayangkan kapal-kapal taksi tersebut berlabuh hanya pada hari-hari tertentu, seperti pada hari Senin, Rabu, dan Jum’at. Jadi bagi masyarakat yang tidak memiliki alat transportasi atau kelotok sendiri, harus banyak bersabar kalau mau bepergian waktu itu.

Sesuai dengan namanya terpencil, sudah barang tentu desa ini lebih identik dengan sebuah desa tertinggal. Desa yang memiliki populasi yang tidak seberapa. Sehingga membuat desa Batalas ini menjadi sulit untuk maju dan berkembang. Tetapi kendati demikian, walau pun hidup kami dalam serba keterbatasan waktu itu, lampu penerangan belum masuk ,dan jalan darat belum tembus, susah mau ke sana-sini, mau beli sayur tapi tidak ada paman sayur yang berjualan keluar masuk kampung seperti sekarang, kami semua tetap bisa hidup dalam keadaan rukun, damai, bahagia dan sejahtera.

Bahkan menurutku, masa kecilku yang pernah menyaksikan serta merasakan langsung  bagaimana hidup dalam segala keterbatasan itu, dimana dulunya aku pernah merasakan bagaimana hidup tanpa ada listrik,  tidak ada HP, tidak ada televisi, tidak ada CD/DVD, tidak ada kulkas, tidak ada sepeda motor, dan tidak ada ini-itu, dan sekarang tahun 2014 semua bisa diperoleh dan dinikmati dengan mudah, dengan adanya dua nikmat besar yang Allah berikan itu, yaitu adanya penerangan dan jalan darat yang tembus ke kecamatan dan lainya, aku dapat dengan mudah merasakan bahwa ini semua merupakan bagian dari nikmat Allah yang paling besar yang patut dan wajib disyukuri. Lain Syakartum La Azidannakum. 

Sebagai catatan, ada beberapa hal kegiatan masyarakat tempo dulu yang sekarang menurutku sangat sulit ditemukan. Pertama, dulu hampir disetiap buah rumah kalau malam terdengar suara orang mengaji, sedang sekarang? suara Televisi dengan berbagai acara menghiasi rumah-rumah warga.

Kedua, dalam rangka menyambut kedatangan dan menyerakkan bulan suci Ramadhan sebagian warga membikin lampu hias atau yang disebut dengan dadamaran yang diletakkan di depan rumah. Bentuknya beranika ragam. ada yang berupa bintang yang terbuat dari kertas lalu dikasih lampu di dalamnya, dan ada juga seperti lampu ubur biasa yang terbuat dari bambu, dan bentuk lainnya.
Bagi warga yang tidak mau ambil pusing, mereka meletakkan lampu minyak tanah biasa di depan rumah. Dan kalo lampu tersebut adalah lampu colok yang terbuat dari bekas kaleng susu dan sebagainya, agar tidak mudah padam tertiup angin maka warga meletakkannya di dalam ember yang ditelengkupkan di atas pelataran rumah.

Sekarang, tidak ada lagi istilah badadamaran tersebut. Mungkin karena faktor jalanan sudah terang jadi dirasa tidak perlu lagi membuat dadamaran. Padahal menurutku tujuan orang tempo dulu bedadamaran bukan hanya sebatas untuk penerangan lampu di jalanan, tetapi juga untuk menyemarakkan dan membuat istemewa bulan suci Ramadhan sebagai bukti bahwa masyarakat bergembira karena kedatangan bulan mulia tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan suci Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasadnya atas api Neraka”.

Keluarga dan Kula

Mengetahui tentang sanak-kerabat (keluarga) atau dalam istilah bahasa Banjar disebut “Kula” bagi seseorang sangatlah penting untuk mengetahui siapa dirinya dan siapa handai tulannya. Agar nanti kalau suatu saat ada perlu; seperti mau mengadakan acara perkawinan, aqiqahan, selamatan, dan lain sebagainya mudah mengumpulkan semua keluarga.

Manusia di dunia ini tidak bisa hidup sendiri. Perlu ada orang-orang terdekat yang siap membantu kalau ada hajat dan kesusahan. Siap menghibur kalau ada kesedihan. Di sinilah fungsinya keluarga, sanak kerabat, handai tulan, atau kula. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sedihnya saat sakit keras namun tidak ada yang datang untuk membesuk. Lebih-lebih kalau ada kematian tapi tidak ada yang berbelasungkawa.

Harapan pertama seseorang tentu selalu tertuju pada sanak-kerabatnya, keluarga dan kula-kulanya. Dan besarnya harapan pada mereka tidak jarang selalu mengungguli harapan pada masyarakat. Tidak bisa dipungkiri peran keluarga dan kula sangatlah besar bagi seseorang dalam menjalani hidup di dunia ini. Demi menjaga lestarinya garis keturunan dan tali silaturrahmi antarkeluarga perlulah kesadaran masing-masing individu mencari tahu siapa orangtuanya, siapa paman-bibinya, siapa kakek-neneknya, siapa datu-datunya, dan siapa saja yang ada hubungan kekeluargaan dengan mereka.

Maka dari karena itu aku, begitu pula dengan saudara kembarku Muhammad Fitriansyah, kalau ada waktu luang, saat bersantai, saat rebahan bersama antara waktu azan magrib dan isya, sering bertanya pada ayah dan ibu tentang siapa saja saudara-saudara ayah dan ibu, nama kakek-nenek, dan anggota keluarga lain yang ada hubungannya dengan mereka berdua.

Menurut penuturan ayah, ia mempunyai lima saudara kandung dari hasil perkawinan pasangan suami istri yang bernama Anang Acil dan Galuh, kakek-nenek kami. Pertama, kakak dari ayah. Kata ayah, ia meninggal saat masih kecil, dan ayah pun tidak tahu siapa namanya. Saat saudaraku fitriansyah bertanya, ayah mengaku tidak pernah bertanya pada orang tuanya (kakek-nenek kami) saat masih hidup siapa nama kakak ayah yang meninggal tersebut.
Kedua, Supiah. Adik pertama ayah ini sewaktu hidup menikah dengan seorang laki-laki dari Barabai, paman Asan. Namun malang, keluarga mereka tidak bertahan lama, Supiah keburu meninggal sebelum mereka dikaruniai anak. Akhirnya, suaminya pun menikah kembali dengan seorang perempuan asal Negara, dan mereka menetap di Sungai Danau.

Ketiga, Haji Gazali. Adik kedua dari ayah ini biasa dipanggil Haji Jali, namun kami biasa memanggil beliau dengan sebutan “Angah Haji” karena beliau adalah anak ketiga, adik dari ayah kami sendiri.

Dalam masyarakat adat seperti di Batalas dan warga hulu sungai, sudah menjadi kebiasaan dalam memanggil saudara tertua ayah atau ibu dengan panggilan “Julak”,  sedangkan untuk saudara lebih muda dari julak di panggil “Gulu”, berikutnya, saudara yang lebih muda lagi dipanggil dengan “angah” dan terakhir untuk seterusnya yang paling muda dipanggil “acil atau amang”.

Panggilan, Julak, Gulu, angah, dan acil di atas tidak dibedakan apakah orang tersebut laki-laki atau perempuan. Hanya saja kalau mau membedakannya cukup ditambah “laki” atau bini,” tergantung jenis kelamin orang tersebut. Artinya disesuaikan dengan jenis kelamin orang yang dipanggil tersebut. Kalau orang yang dipanggil julak tersebut laki-laki maka ia di panggil Julak laki, kalau perempuan dipanggil julak bini. Begitu pula sama halnya dengan gulu, kalau orang yang dipanggil gulu tersebut laki-laki maka ia dipanggil gulu laki, dan kalau perempuan dipanggil gulu bini. Angah dan dan acil pun juga demikian. Ada angah laki ada angah bini. Ada acil laki ada acil bini. Namun belakangan untuk kata “Acil” oleh masyarakat dikhususkan bagi perempuan, sedangkan bagi laki-laki di panggil “amang”. Tidak ada lagi istilah acil laki dan acil bini.

Keempat dan kelima dari saudara ayah adalah Sahadi dan Sa’diyyah. Untuk dua orang terakhir ini, Sahadi dan Sa’diyyah, aku tidak bisa menjelaskan apa dan bagaimana ia, karena aku sendiri tidak pernah menemuinya. Mereka sudah lama tiada. Entah kapan mereka meninggal. Entah apakah aku sudah terlahir ke dunia sewaktu mereka masih hidup atau belum. Hanya Allah yang tahu. Namun demikian, menurut informasi yang di dapat, Sa’diyyah meninggal saat ia berumur sekitar kurang lebih setengah tahun.

Jadi dengan demikian, dari kelima saudara ayah tersebut hanya satu yang masih hidup, yakni angah haji.
Terima Kasih atas Kunjungannya.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India