Senin, 23 Juni 2014

Kampung Halamanku


Nama kampung halamanku ini kedengarannya memang cukup unik, desa “BATALAS”. Dan ini terbukti, saat salah satu temanku di Pondok Pesantren Darussalam Martapura mendengar nama Batalas ia sedikit ketawa. Mungkin karena agak lucu. Atauuu??? Ya sedikit anihlah, hingga temanku tersebut tersenyum-senyum sedikit karena menahan tawa.

Kenapa bernama Batalas? Apa dulu di desa ini banyak talas atau pisang talasnya? Mana aku tahu. Ya mungkin saja dulunya banyak talas atau pisang talasnya di sini sehingga diberi nama “Batalas”. Yang pastinya menurutku biasanya sebuah daerah pasti memiliki nilai historisnya, dan itu sudah barang tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada pemberian nama daerah tersebut.

Terlepas dari hal di atas, desa Batalas termasuk bagian dari desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Candi Laras Utara kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Di desa Batalas inilah kedua orang tuaku dan semua saudara-saudariku dilahirkan dan tinggal. Begitu pula halnya dengan kebanyakan sanak kerabatku lahir dan tinggal di desa yang terletak dipinggiran sungai Negara itu.

Waktu aku masih kecil, di desa Batalas belum ada lampu penerangan alias listrik. Semua penduduk mayoritas menggunakan lampu semprong, lampu duduk atau lampu colok, untuk digunakan sebagai penerangan di malam hari.

Selain itu, waktu aku masih kecil, jalan darat yang menghubungkan desa tersebut dengan daerah lainnya (Buas-buas, Rawana, Baulin, dan Margasari), selain dengan desa Telok Haur masih belum ada.  Jadi, semua warga yang berada di sana kalau mau kemana-mana harus menggunakan kapal bermotor atau kelotok. Karena alat transportasi paling banter di sana waktu itu hanyalah jukung, kelotok, kapal, dan alat transportasi air lainnya. Belum ada kendraan alias sepeda motor. Kalau sepeda tinjak sih ada, tapi bisanya hanya untuk pergi ke sekitar desa Batalas dan desa Telok Haur saja. Tidak bisa dibawa kemana-mana. 

Menurut perkiraanku, bisa memakan waktu setengah jam hingga berjam-jam baru akan bisa sampai ke kecamatan (Margasari) kalau pergi dari desa Batalas dengan menggunakan kelotok. Adapun kalau menumpang kapal-kapal taksi, waktu yang diperlukan cukup bervariasi. Ada yang lebih cepat dari kelotok dan ada juga sebaliknya. Namun sangat disayangkan kapal-kapal taksi tersebut berlabuh hanya pada hari-hari tertentu, seperti pada hari Senin, Rabu, dan Jum’at. Jadi bagi masyarakat yang tidak memiliki alat transportasi atau kelotok sendiri, harus banyak bersabar kalau mau bepergian waktu itu.

Sesuai dengan namanya terpencil, sudah barang tentu desa ini lebih identik dengan sebuah desa tertinggal. Desa yang memiliki populasi yang tidak seberapa. Sehingga membuat desa Batalas ini menjadi sulit untuk maju dan berkembang. Tetapi kendati demikian, walau pun hidup kami dalam serba keterbatasan waktu itu, lampu penerangan belum masuk ,dan jalan darat belum tembus, susah mau ke sana-sini, mau beli sayur tapi tidak ada paman sayur yang berjualan keluar masuk kampung seperti sekarang, kami semua tetap bisa hidup dalam keadaan rukun, damai, bahagia dan sejahtera.

Bahkan menurutku, masa kecilku yang pernah menyaksikan serta merasakan langsung  bagaimana hidup dalam segala keterbatasan itu, dimana dulunya aku pernah merasakan bagaimana hidup tanpa ada listrik,  tidak ada HP, tidak ada televisi, tidak ada CD/DVD, tidak ada kulkas, tidak ada sepeda motor, dan tidak ada ini-itu, dan sekarang tahun 2014 semua bisa diperoleh dan dinikmati dengan mudah, dengan adanya dua nikmat besar yang Allah berikan itu, yaitu adanya penerangan dan jalan darat yang tembus ke kecamatan dan lainya, aku dapat dengan mudah merasakan bahwa ini semua merupakan bagian dari nikmat Allah yang paling besar yang patut dan wajib disyukuri. Lain Syakartum La Azidannakum. 

Sebagai catatan, ada beberapa hal kegiatan masyarakat tempo dulu yang sekarang menurutku sangat sulit ditemukan. Pertama, dulu hampir disetiap buah rumah kalau malam terdengar suara orang mengaji, sedang sekarang? suara Televisi dengan berbagai acara menghiasi rumah-rumah warga.

Kedua, dalam rangka menyambut kedatangan dan menyerakkan bulan suci Ramadhan sebagian warga membikin lampu hias atau yang disebut dengan dadamaran yang diletakkan di depan rumah. Bentuknya beranika ragam. ada yang berupa bintang yang terbuat dari kertas lalu dikasih lampu di dalamnya, dan ada juga seperti lampu ubur biasa yang terbuat dari bambu, dan bentuk lainnya.
Bagi warga yang tidak mau ambil pusing, mereka meletakkan lampu minyak tanah biasa di depan rumah. Dan kalo lampu tersebut adalah lampu colok yang terbuat dari bekas kaleng susu dan sebagainya, agar tidak mudah padam tertiup angin maka warga meletakkannya di dalam ember yang ditelengkupkan di atas pelataran rumah.

Sekarang, tidak ada lagi istilah badadamaran tersebut. Mungkin karena faktor jalanan sudah terang jadi dirasa tidak perlu lagi membuat dadamaran. Padahal menurutku tujuan orang tempo dulu bedadamaran bukan hanya sebatas untuk penerangan lampu di jalanan, tetapi juga untuk menyemarakkan dan membuat istemewa bulan suci Ramadhan sebagai bukti bahwa masyarakat bergembira karena kedatangan bulan mulia tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan suci Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasadnya atas api Neraka”.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjungannya.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India